Kamis, 26 November 2009

Surabaya tempo Doeloe





GEDUNG LINDETEVES
Pada zaman Belanda, gedung yang terletak di pojok Jalan Pahlawan dengan jalan Kebun Rojo Surabaya ini dikenal sebagai gedung NV.Lindeteves. Dalam dokumentasi “Surabaya Tempo Dulu”, foto ini diambil tahun 1930. Sekarang gedung ini digunakan sebagai gedung Bank Mandiri dan sebelumnya pernah dipakai oleh Bank Niaga. Pemerintah Kota Surabaya, mencatat gedung ini sebagai salah satu “cagar budaya” di Kota Surabaya. (dok: Yousri)

Gedung Lindeteves, saat digunakan sebagai Bank Niaga tahun 1990-an. (dok: Yousri)

KAWASAN KEMBANG JEPUN
Jalan Kembang Jepun tahun 1930, difoto dari Gedung Internatio – Jembatan Merah – gerbang Barat. (dari Surabaya Tempo Dulu, dok: Yousri)

GERBANG Jalan Kembang Jepun darI arah Timur dengan gaya tradisional China di tahun 1930-an. Gerbang ini pernah dirubuhkan dan saat di Jalan Kembang Jepun itu diadakan kegiatan Kya-Kya, yaitu pasar makanan pada malam hari tahun 2005-2007, gerbang khas China dibangun kembali, (dok Yousri – dari Surabaya Tempo Dulu)

JALAN PAHLAWAN
Dulu Jalan Pahlawan Surabaya ini bernama Alun-alun Straat. Foto diambil tahun 1930. Masih terlihat ada rel trem listrik, kendaraan dokar dan mobil pada zaman itu. Sekarang semua sudah berubah. (dok:Yousri – dari Surabaya Tempo Dulu)

GEDUNG Raad van Justitie (Pengadilan Tinggi) di Zaman Belanda, di Jalan Pahlawan (Alun-alun Straat) pada perayaan HUT Ratu Wilhelmina tanggal 31 Agustus 1935. Ada acara karnaval dan pawai yang disaksikan rakyat yang memenuhi sepanjang jalan, viaduk jalan-jembatan pelintasan kereta api, bahkan sampai ke puncak gedung kantor Gubernur Jawa Timur di seberangnya. Pada zaman Jepang, gedung ini berubah fungsi menjadi Markas Polisi Militer (Kenpetai) dan sekarang sudah hancur. Di atas lahan ini berdiri kokoh Tugu Pahlawan untuk memperingati peristiwa heroik 10 November 1945. Tugu Pahlawan ini diresmikan oleh Presiden RI pertama Ir..Soekarno tanggal 10 November 1952 dan di bawahnya dibangun pula Museum (bawah tanah) Tugu Pahlawan yang mengoleksi berbagai peninggalan masa perjuangan tahun 1945. (dok: Yousri dari Surabaya Tempo dulu).

RAMAINYA LUAR BIASA
Gedung Kantor Gubernur Jawa Timur di Jalan Pahlawan (Alun-alun Straat) Surabaya tanggal 31 Agustus 1935 ramai sekali, selain di jalan raya dan viaduk (jembatan) kereta api, gedung sampai ke atas atap kantor gubernur ditempati pengunjung yang menyaksikan upacara, pawai dan karnaval.

Sabtu, 21 November 2009

sejarah paris van java


Paris van java ?
paris van java adalah sebutan bagi kota bandung yang dulu adalah kota yang mirip sekali dengan kota paris . nah sebutan ini ibart paris yang brada di pulau jawa . kota yang sejuk dan tidak terlalu panas menjadi kota yang nikmat untuk di huni pada masa belanda kota ini di terkenal sebagai kota fashion dan jajan .Selain itu masih banyak hal-hal lain tempo dulu yang mesti kita pelajari dan lestarikan , karena itu adalah warisan dan aset wisata  .
Kota Bandung dipetakan pertama kali pada tahun 1825 dalam Rencana Tata Kota yang disebut Plan der Nagorij Bandong.
Peta Bandung mencantumkan letak delapan bangunan yang telah berdinding batu, yaitu :
  • Rumah Bupati Bandung
  • Administratur Perkebunan Kopi di Bandung
  • Tumenggung Bandung
  • Patih Pesanggerahan Bandung
  • Rumah Pelukis Belgia A.A.J. Payen di Tengah Kota Bandung
  • Tangsi Tentara di Bandung
  • Mesjid Agung Bandung
Kota Bandung terletak di Provinsi Jawa Barat pada koordinat 6 s/d 7 derajat LS dan 107-108 derajat Bujur Timur . Letaknya di sebuah dataran tinggi yang dikelilingi dengan pegunungan dan perbukitan yang berketinggian rata-rata 1200 m dari permukaan laut.
Dataran tinggi Bandung semula merupakan Kaldera Gunung Purba Sunda yang kemudian menjadi Danau Purba Bandung. Kota Bandung berdiri di atas ketinggian 625 - 775 m dpl. Bagian selatan kota terletak di tepi dataran tinggi dan bagian utaranya membentang di lereng perbukitan.
Tanggal 25 September 1810 merupakan waktu terealisasinya perintah Gubernur Jendral Hindia Belanda H.W. Daendels kepada Bupati Tata Ukur (Nama Bandung dahulu) R.A. Wiranata Koesoma II (1794-1829) untuk memindahkan ibu kota Kabupaten Tata Ukur dari Krapyak (Baleendah kabupaten Bandung sekarang) ke arah utara sejauh 11 km, ke tepi Grote Postweg (Jalan Raya Pos) yaitu di dekat perpotongan Grote Postweg dan Sungai Cikapundung.
Bupati R.A. Wiranatakoesoemah II langsung memimpin rakyat Tatar Ukur (bandung baheula) dalam pelaksanaan pembangunan kota, sehingga dia dikenal dengan julukan Dalem Kaum, yaitu tokoh pendiri Kota Bandung. Ibu Kota Kabupaten yang baru ini diberi nama Bandong. Kemudian, berdasarkan sebuah bisluit pemerintah Hindia Belanda tanggal 25 September 1810, Kota Bandong dinyatakan sebagai ibu kota Kabupaten Bandung, sehingga hari jadi kota Bandung dirayakan pada setiap tanggal 25 september.
Pembangunan fisik Kota Bandung pada masa pemerintahan Bupati R.A. Wiranatakoesomah II (1794-1829) dikenal dengan julukan Dalem Karanganyar masih dalam bentuk yang masih sederhana. Kemajuan pembangunan kota mulai lebih terlihat pada masa pemerintahan R.A. Wiranatakoesomah IV (1846-1874) dikenal dengan julukan Dalem Bintang.
Perubahan besar wajah kota Bandung terjadi pada masa bupati R.A.A. Martanegara (1893-1918). Rumah-rumah beratap rumbia mulai diganti dengan atap genting, dan kota Bandung berkembang sangat cepat,beliau pun dijuluki sebagai bapak pembangunan kota Bandung.
Terdapat 2 perkiraan asal mulanya penamaan kota bandung. 
Pertama adalah dari kata "bandung" yang dalam bahasa sunda artinya membendung sebuah aliran air. Pembendungan sungai Citarum memang terjadi akibat letusan Gunung Tangkuban Parahu, alirah lahar gunung itu menyumbat sungai Citarum sehingga membentuk telaga yang luas. 
Kedua, dari kata "ngabandungan" yang artinya berhadapan atau berdampingan, Talaga Purba Bandung bila dilihat dari Gunung Tangkubang Parahu akan seperti 2 danau yang berhadapan karena adanya penyempitan tepi danau di daerah Cimahi Selatan.
Daerah terkenal di Bandung 




Kota Bandung memiliki 2 identitas yang bertaraf internasional, yaitu :
1) gedung sate
2) kawasan braga
 Arsitektur Kota

Dr.H.P. Berlage (1923), seorang arsitek kenamaan Belanda, menilai gedung sate merupakan een groots werk (sebuah karya besar).
Kawasan Braga sudah dikenal para wisatawan asing masa Hindia Belanda dan merupakan salah satu unsur yang menjadikan Kota Bandung menerima julukan Parijs Van Java. Kawasan braga sempat dijuluki De meest Eropeesche Winkelstraat Van Indie (Komplek Pertokoan Eropa paling terkemuka di Hindia Belanda)
Bandung, sebagai salah satu kota penting di Indonesia, tercata memiliki sejarah perkembangan arsitektur bangunan yang sangat pesat pada masa Hindia Belanda.
Beragam jenis arsitektur bangunan terdapat di kota ini, yang menjadikan Bandung pantas disebut sebagai Laboratorium Arsitektur Bangunan Indonesia. Para arsitek terkemuka tempo doeloe banyak melakukan eksperimen bentuk arsitektur bangunan di kota ini.
Arsitek-arsitek terkemuka dari era Hindia Belanda, antara lain, A.F.Aalbers, F.W.Brinkman, Edward Cuypers,Ir.H.Maclaine Point, Ir.C.P.Wolff Schoemaker,Ir.R.L.A. Schoemaker, Ir.J.Van Gendt, Ir.J.Gerber, dan masih banyak lagi. Peninggalan karya arsitektur mereka merupakan bangunan-bangunan bernilai seni tinggi.
Namun patut disesali, bahwa kondisi yang ada sekarang memperlihatkan kenyataan banyak bangunan karya para arsitek terkemuka tersebut telah berubah bentuk bahkan dimusnahkan, ditambah lagi masyarakat Bandung seolah tidak peduli dengan keadaan ini .

  ITB tempo dulu...


Aula Barat TH ketika sedang dalam tahap Konstruksi (1919)
Pemilihan lokasi kampus Techische Hoogeschool (TH; sekarang ITB) di Hoogeschoolweg (Jl. Ganesha) merupakan sebuah keputusan yang tepat. Udara di kawasan utara kota Bandung ini sejuk dan sangat ideal untuk lingkungan pendidikan.


Aula Barat Instetut Teknologi Bandung
ITB 1980-an)
TH dibangun berdasarkan rancangan arsitek Ir. Hendri Maclaine Pont pada tahun 1918. Peresmiannya terjadi pada tahun 1920. Karel Albert Rudolf Bosscha, yang dikenal sebagai Raja Teh Malabar , adalah salah seorang tokoh pendiri TH.


Aula Barat Techische Hoogeschool - TH (1930-an)
Arsitektur bangunan ini merupakan contoh yang sangat baik dari penerapan unsur lokal, baik dalam gaya arsitektur dan dalam penggunaan bahan material lokal-nya. Keduanya dipadukan dengan gaya arsitektur dan konstruksi Barat (Eropa). Perpaduan yang menghasilkan suatu gaya arsitektur vernakular.
H.P.Berlage, seorang arsitek terkenal Belanda, memuji rancangan bangunan TH di tengah maraknya beragam bentuk bangunan bergaya arsitektur jiplakan bentuk arsitektur Eropa di Belanda, yang belum tentu tepat diterapkan di alam tropis, kehadiran gedung TH diharapkan dapat menjadi inspirasi arsitek lain supaya lebih memperhatikan unsur lokal.

Gedung Rektor ITB di Sulanjana
H.P.Berlage, seorang arsitek terkenal Belanda, memuji rancangan bangunan TH di tengah maraknya beragam bentuk bangunan bergaya arsitektur jiplakan bentuk arsitektur Eropa di Belanda, yang belum tentu tepat diterapkan di alam tropis, kehadiran gedung TH diharapkan dapat menjadi inspirasi arsitek lain supaya lebih memperhatikan unsur lokal.


Aula Barat Institut Teknologi Bandung - ITB (1970-an)

 Gedung SMA tempo dulu ....
 


Gouvernements HBS (Hogere Burger School) di Bilitonstraat pada tahun 1920-an
Gouvernements HBS (Hogere Burger School) terletak di Bilitonstraat (SMAN 3 Jl Belitung). Gedung yang diarsiteki oleh Ir.C.P. Wolff Schoemaker ini dibangun pada tahun1916.

Gedung SMAN 3 Bandung
Arsitektur bangunan sudah mulai mengadopsi unsur-unsur lokal, tampak pada atap model arsitektur tropis yang dikombinasikan dengan unsur Barat, berupa lantern (bangunan kecil) di atap utama yang saat ini sudah tidak ada.


Gedung HBS Van de Zuster Ursulinen (1920-an)

Gedung SMP dan SMA Santa Angela (2000)
HBS van Zuster Ursulinen (St. Ursula School) terletak di Merdikaweg yang merupakan SMP-SMA Katolik. Gedng ni dibangun berdasarkan rancangan Biro Arsitek Hulswit Fermont & Cuypers Dikstaal pada tahun 1922.
Bangungan gedung beratap dua tumpuk mempunyai pintu masuk di tengah bangunan seperti pada gedung SMAN 3.



 Masjid agung tempo dulu .....


Mesjid Agung dan Alun-alun pada awal tahun 1850
Sejak didirikan, Mesjid Agung di pusat kota telah mengalami delapan kali perombakan. Tiga Perombakan terjadi pada abad ke-19, dan lima kali terjadi pada abad ke-20.
Pada mulanya sekitar tahun 1812, Mesjid Agung hanya berbentuk bangunan panggung tradisional yang terbuat dari bambu dan beratap rumbia. Menurut catatan Dr.Andries de Wilde, tuan tanah di Bandung (1830), Mesjid Agung berhadap-hadapan dengan Bale Bandong. Letak Mesjid di sebelah barat, dan Bale Bandong di sebelah timur. Dinding bilik dan bambu Mesjid Agung diganti bangunan kayu pada tahun 1826.

Mesjid Agung sudah beratap tumpuk tiga tetapi belum dilengkapi menara. Alun-alun masih berupa lapangan kosong (1920-an)

Mesjid Agung tahun 1930
Lingkungan Alun-alun dirombak pada tahun 1850. Demi meningkatkan kualitas bangunan Mesjid Agung, dinding bangunan mesjid mulai menggunakan tembok dan beratap genteng. Pada tahun 1900, mesjid ini dirubah menjadi berbentuk persegi empat dan beratap susun tiga tumpuk yang juga dilengkap dengan mihrab, bedug, kentongan, dan kolam namun belum memiliki menara .
Pada tahun 1930, Mesjid Agung dilengkap dengan serambi depan dan sepasang menara pendek di kiri kanan bangunan berdasarkan rancangan arsitek Maclaine Pont.

Mesjid Agung mengalami perombakan besar ketika menjelang Konfrensi Asia Afrika di Bandung tahun 1955. Perubahan drastik tampak pada atapnya Atap tumpuk yang dipakai sejak tahu 1850 diubah menjadi model atap bawang bergaya timur tengah. Kedua menara kecil dibongkar, serambinya diperluas dan ruang panjang di kiri dan kanan masjid dijadikan satu dengan bangunan induk. Sebuah menara tunggal didirikan di halaman depan mesjid sebelah selatan.
Mejid Agung mengalami perombakan lagi pada tahun 1970. Bangunannya diperluas dan dibangun bertingkat. Atap diganti model joglo, dan sebuah jembatan dibangun untuk menghubungkan Mesjid Agung dan Alun-Alun.

Mesjid Agung pada akhir tahun 1950-an
Pada akhir tahun 1980-an, Mesjid Agung mengalami sedikit perubahan wajah bangunan, yaitu dengan penambahan dinding vertikal berhiaskan batu granit. Mesjid Agung merupakan bangunan yang sangat penting di lingkungan Alun-alun karena masyarakat Priangan sangat taat dalam menjalankan Ibadah, sehingga mesjid merupakan pusat kegiatan spiritual yang keberadaannya merupakan suatu keharusan. Mesjid ini merupakan tempat masyarakat beraktivitas sholat berjamaah,belajar mengaji, dan berinteraksi sosial melalui ceramah dan diskusi agama, memperingati hari keagamaan dan melaksanakan akad nikah.

Sarana olahraga di Bandung

Bandung Cricket Club yang menginformasikan waktu untuk latihan dan pertandingan permainan Cricket di Lapangan NIAU. (1930-an)


Lapangan Nederlands Indie Atheltiek Unie-NIAU dan
lapangan tenis di sebelah barat Saparuaweg (1930-an)

Lapangan NIAU sebagai tempat untuk upacara (1930-an)


Lapangan NIAU sebagai tempat bermain anak-anak (1920-an)
Lapangan Nederlands Indie Athletiek Unie (NIAU); sekarang gelora saparua yang terletak di Menadostraat sekarang Jln Aceh. yang dapat dikatakan sebagai lapangan tertua di kota Bandung. Lapangan ini terletak di seberang kompleks Jaarbeurs dan menurut perkiraan dibangun bersamaan dengan lapangan tenis di sebelah barat NIAU, di seberang Saparuaweg (1910). Lapangan NIAU bukan hanya untuk penyelenggaraan olah raga atletik, tetapi juga untuk senam masal, baseball, dan cricket. Upacara-upacara untuk mengawali pembukaan resmi suatu kegiatan sering juga diselenggarakan di lapangan ini, selain untuk tempat bermain anak-anak.

Lapangan Gelora Saparua saat ini


Nasib lapangan golf Andir (1930-an) tidak dapat ditelusuri lagi
setelah tahun 1941


Lapangan NIAU sebagai tempat untuk upacara (1930-an)


Lapangan NIAU sebagai tempat bermain anak-anak (1920-an)
Sepak bola mulai dikenal di Bandung pada tahun 1900. Jenis olah raga ini diselenggarakan di Alun-alun Bandung hingga tahun 1905, sebab lapangan khusus untuk permainan sepak bola belum tersedia pada waktu itu. Setelah pelarangan penggunaan Alun-alun sebagai tempat bermain sepak bola, maka arena sepak bola pindah ke Lapangan Gemeente (sekarang lapangan parkir Balai Kota). Penggunaan Geemente itu tidak berlangsung lama, karena dianggap menimbulkan kebisingan bagi gereja Bethel di Logeweg (sekarang Jln.Wastukencana bagian selatan) dan Gereja Katolik St Pieter (katedral)di Merdikaweg (skr jalan merdeka). Klub-klub sepak bola dan para pemainnya lalu memindahkan kegiatannya ke lapangan Javastraat (lahan kosong di antar javastraat, rel kereta api, soematrastraat dan soendastraat). Pada tahun 1914, Residen priangan tidak mengizinkan lapangan javastraat disewakan sebag lapangan sepak bola. Alun-alun Bandung kembali dipergunakan sebagai lapangan sepak bola pada tahun 1914-1921.

Lapangan sepak bola milik Uni (1920-an) di Karapitanweg
(Jln Karapitan) yang sekarang tidak tururus, walaupun
klub sepak bola Uni masih ada hingga sekarang

Lapangan sepak bola milik Klub Sepak Bola Sidolig (1920-an)

Lapangan Sidolig sekarang menjadi Stadion PERSIB (2004)
Klub sepak bola tertua di Bandung, antara lain BVC (Bandoengsche Voetbal Club, 1900), Uni (Uitspaning Na Inspaning-bersenang senang lah setelah bekerja keras) yang didirikan 28 februari 1903, tahun 1950 an diartikan sebagai Usaha Nanti Istirahat, Sidolig (Sport in de Openlucht is Gezond - Olah raga di udara terbuka adalah sehat, 1905), Sparta,Luno dan Velocitas.
Uni membangun lapangan sepak bola sendiri pada tahun 1924 di karapitanweg (skr Jln karapitan) dan disusul oleh Sidolig di Grote Postweg (skr Jl. A.Yani) yang saat ini menjadi stadion Persib.
Voetbalclub orang Belanda tergabung dalam Bandoengsche Voetbal Bond (BVB- Persatuan Sepak Bola Bandoeng) yang merupakan anggota Nederlands Indische Voetbal Bond (NIVB - persatuan Sepak Bola Seluruh India Belanda). BVB menjadi juara sepak bola seluruh Hindia Belanda pada tahun 1933, 1934 dan 1936.
Ikatan Voetbalclub pribumi adalah Bandoeng Indische Voetbal Bond (BIVB) dan Nationaal Voetbal Bond (NIVB). pada tanggal 29 April 1930 BIVB dan NVB digabung menjadi Persatuan Sepak Bola Indonesia Bandung (PSIB), yang akhirnya diganti menjadi PERSIB. karena Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) hanya menerima sebuah klub saja untuk menjadi anggotanya di setiap kota. Persib menjadi juara PSSI pada tahun 1950,1961,1987,1991, selain menjadi juara Kompetisi Sepak Bola Lingga Indonesia (Dunhill) pertama pada tahun 1995.
Lapangan sepakbola utama Bandung sekarang berada di Stadion Siliwangi. Stadion Siliwangi semula merupakan lapangan sepak bola milik Perkumpulan Sepak Bola Sparta yang didirikan pada tahun 1930-an di Lombokstraat (Jln.Lombok). Pada awal tahun 1960-an, lapangan ini dibangun menjadi stadion yang kemudian dipugar pada tahun 1975 dan 1984.

Menado Plein yang luas dibatasi oleh Menadostraat di utar, Noorder Magazynstraat di selatan, Lombokstraat dan Bankstraat di barat, dan Kampemenstraat di timur (sekarang stadion Siliwangi, Lapangan golf dan gedung Ajudan Jendral) merupakan tempat latihandan olah raga militer Hindia Belanda



Lapangan Alun-alun Bandung sering juga dipergunakan untuk perlombaan olah raga panahan tradisional (1920-an). Para pemanah duduk bersila dan sasaran berupa bola berbagai ukuran, yang terkecil bagian atas dan yang terbesar bagian paling bawah, digantung sekitar 100 m di depan setiap pemanah. Lapangan panahan lainnya adalah Daendels plein di Daendelsweg (skr Jln. Jakarta), tempat penyelenggaraan panahan tradisional hingga tahun 1950-an.




Lahan cikal bakal Lapangan Gasibu masih berupa lahan terbuka
yang digenangi air ketika Gedung Sate selesai dibangun (1924)
Nama Lapangan Gasibu (Wilhelmina Plein) diganti menjadi Lapangan Diponegoro (1950-an), kemudian menjadi Lapangan Gabungan Sepak Bola Indonesia Bandung Utara - Gasibu. Lapangan Gasibu sempat menjadi tempat pemukiman liar sebelum dipindahkan ke daerah Sukaluyu (1960-an). Lapangan Gasibu sekarang menjadi tempat untuk upacara dan olah raga. Lapangan ini terletak di seberang utara Gedung Sate.



Lapangan Gasibu (1980-an) telah menjadi lapangan
olah raga dan rekreasi

Gedung olah raga di Lapangan Olah Raga Balistraat (Jl Bali)
di selatan kolam renang Centrum (1920-an)


Gedung olah raga di Jalan Bali (2004)

Lapangan tenis di taman Maluku (2004)

Sabtu, 14 November 2009

Sepenggal Sejarah Penjara Masa Kolonial Belanda

Penjara, Rumah Tahanan (Rutan) atau Lembaga Pemasyarakatan (LP) adalah sebuah jejak-jejak panjang nan penuh liku. Hal ini terkait dengan sejarah berdirinya negara tercinta ini, yang memiliki masa-masa pahit tatkala Belanda dan Jepang menancapkan cakar tajamnya di masa penjajahan. Masa demi masa terlewati, mengukir catatan demi catatan. Masing-masing masa memiliki sejarahnya tersendiri.
Seperti Apa Penjara Masa Kolonial Belanda?
A. Periode Kerja Paksa
gbr312Periode pidana kerja paksa di Indonesia berlangsung sejak pertengahan abad ke-XIX atau tepatnya mulai tahun 1872 hingga 1905. Ditandai dengan dua jenis hukum pidana; pertama, hukum pidana khusus untuk orang Indonesia ;dan yang kedua, pidana khusus untuk orang Eropa.
Bagi orang Indonesia dan golongan Timur Asing berlaku Kitab Undang-undang Hukum Pidana khusus, yakni “Wetboek van Strafrecht voor de Inlanders in Nederlandsch Indie”, artinya Kitab Undang-undang Hukum Pidana untuk orang pribumi di Hindia Belanda. Pada saat itu orang Indonesia disebut dengan “Inlanders”.
Pada periode ini pidana kerja merupakan bentuk pemindanaan yang seringkali dijatuhkan pada “ inlanders”. Lama pidana kerja sangat bervariasi bisa seumur hidup, atau minimal satu hari. Sedangkan pidana kerja terbagi menjadi dua, yakni kerja paksa (dwang arbeid) dan dipekerjakan (ter arbeid stellen). Kerja paksa yang lamanya lebih dari lima tahun dilakukan dengan dirantai (dwang arbeid aan de ketting), yang di bawah lima tahun tanpa dirantai (dwang erbeid buiten de ketting). Sedangkan yang satu tahun ke bawah disebut dengan istilah “dipekerjakan” (ter arbeid stellen), dan yang di bawah tiga bulan disebut “krakal”.
gbr17Pidana kerja paksa baik dengan rantai maupun tidak, dilaksanakan diluar daerah tempat diputuskannya perkara, juga di luar daerah asal terpidana. Hukuman yang juga disebut dengan “pembuangan” (verbanning), dimaksudkan untuk memberatkan terpidana, dijauhkan dari sanak saudara serta kampung halaman. Bagi orang Indonesia yang cenderung memiliki sifat kekerabatan dan persaudaraan, tentu saja hal ini dirasa sangat memberatkan. Terpidana menjalani kerja paksa diluar daerah, dengan bekerja pada proyek-proyek besar, seperti; tambang batu bara di Sawah Lunto (Umbilin), proyek pembuatan jalan di Sumatera Tengah, Tapanuli, Aceh, Sulawesi, Bali/Kintamani, Ambon, Timor, dan lain-lain.
Selain itu para terpidana juga bekerja sebagai pemikul perbekalan dan peluru saat Perang Aceh, dan di tempat-tempat lain di luar Jawa. Tujuan utama dari hukuman pada periode tahun 1872-1905 ini adalah menciptakan rasa takut (afschrikking) dan mengasingkan terpidana dari masyarakat. Meskipun pada waktu itu berlaku “Reglement op de Orde en Tucht” (Staatsblad 1871 no. 78) yang berisi tata tertib terpidana, namun semuanya praktis tidak dijalankan. Para terpidana tidak mendapatkan perlakuan yang layak sebagaimana mestinya.
gbr18 Akibatnya, kondisi kesehatan para terpidana sangat menyedihkan bahkan hampir setiap hari terjadi usaha pelarian. Penegakan hukum pada masa kekuasaan Hindia Belanda ini bersifat menyeluruh hingga ke lapisan masyarakat paling bawah.
B. Periode Kolonial Belanda
Sejak tahun 1905 mulai dibuat penjara sentral wilayah (gewestelijke centralen) bagi terpidana kerja paksa, agar terpidana kerja paksa dapat melakukan beserta jajarannya. Tercatat sebagai Kepala Urusan Kepenjaraan yang pertama adalah Gebels seorang sarjana hukum yang berjasa dalam membuat gebrakan-gebrakan baru dalam hal kepenjaraan.
Pada masa ini sudah mulai diberlakukan sistem kamar bersama, yang bagi ahli penologi (ilmu kepenjaraan) sistem ini punya andil dalam menyuburkan terjadinya penularan kejahatan sehingga muncul istilah “school of crime” (sekolah kejahatan). Akibat lain adalah munculnya hukum rimba, siapa yang paling kuat, dia yang berkuasa.
Pelaksanaan Hukum PenggalDan bukan rahasia lagi bila si jagoan ini melakukan aktifitas homoseksual terhadap mereka yang lebih lemah. Sepanjang hari, di dalam tembok setinggi empat setengah meter, para terpidana melakukan kerja paksa yang dikoordinasi layaknya seorang pekerja dalam sebuah perusahaan. Pekerjaan dilengkapi dengan seperangkat mesin, yang dikenal dengan istilah “perusahaan besar” (groote bedrijven/groot ambachtswerk). Sementara di tempat lain di luar penjara pusat, terpidana dalam tempat hukumannya di dalam lingkungan tembok di pusat penampungan.
Kebijakan baru ini terlaksana di bawah pimpinan Kepala Urusan Kepenjaraan (Hoofd van het Gevangeniswezen) tempat penampungan dipekerjakan dalam lingkup “perusahaan kecil” (klein ambachtwerk).
Masa kolonial juga mencatat sebuah peristiwa yang terbilang kejam, kejadiannya menimpa seorang pemberontak Indonesia yang sudah menjadi incaran pemerintah kolonial. Suatu hari pemberontak ini tertangkap dan sebagai “shock therapy” bagi pemberontak lain, ia diberi hukuman yang tak berperikemanusiaan. Keempat anggota badannya (tangan dan kaki) masing-masing diikatkan pada kuda lalu ditarik oleh kuda tersebut dengan arah berlawanan. Anggota tubuh si pemberontak tercerai berai, peristiwa ini terkenal dengan peristiwa pecah kulit. Saat ini tempat peristiwa tersebut dijadikan nama jalan di Jakarta-Kota.
gbr26Periode ini ditandai dengan lahirnya cikal bakal Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), dimulai pada masa ini, yakni dengan lahirnya “Wetboek van strafrecht voor Nederlansch Indie” (Kitab Undang-undang Hukum Pidana untuk Hindia-Belanda). Ketentuan ini ditetapkan dengan Koninklijk Besluit pada tanggal 15 Oktober 1915 no. 33, dan mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1918. Salah satu isi dari perundang- undangan ini adalah dihapuskannya istilah “pidana kerja” menjadi “pidana hilang kemerdekaan”.
Dengan adanya “Wetboek van strafrecht voor Nederlansch-Indie” ini maka tiada lagi perbedaan perlakuan antara orang Indonesia dan Timur Asing dengan orang-orang Eropa. Selang tiga tahun sesudah 1 Januari 1918, terjadi perubahan-perubahan mencolok dalam sistem kepenjaraan. gbr26.jpgSalah satunya adalah dihapuskannya sistem “Gewestelijke centralen”, dan diganti dengan sistem “Strafgevangenissen” (penjara sebagai sarana pelaksanaan pidana). Perubahan ini terjadi di bawah pimpinan Kepala Urusan Kepenjaraan Hindia-Belanda, ijmans yang tercatat sebagai pembawa angin segar dalam sejarah perkembangan urusan kepenjaraan Hindia-Belanda.
Salah satu gebrakan yang dilakukan oleh Hijmans adalah catatannya yang panjang lebar tentang perbaikan urusan kepenjaraan tertanggal 10 September 1921 kepada Direktur Justisi. Pria enerjik ini mengutarakan pandangannya tentang pandangan-pandangannya di bidang kepenjaraan, yang pada pokoknya berupaya untuk melakukan reformasi bagi terpidana. Perhatian terutama ditujukan kepada anak-anak terpidana dan klasifikasi terpidana dewasa. Menurutnya, sedikit kesempatan bagi terpidana untuk memperbaiki moral di dalam lingkungan pusat penampungan wilayah, sebaliknya “school of crime” akan memunculkan penjahat-panjahat baru, yang justru kian menjerumuskan terpidana menuju jurang kehancuran.
Di bawah kepemimpinan Hijmans pula, Kepenjaraan Hindia-Belanda untuk pertama kali mengirimkan wakilnya ke Konggres Internasional Penitentiar kesembilan di London, pada Agustus 1925. Selain itu tiap tahun memberi sumbangan berupa uang sebanyak 500 Rupiah kepada sekretariat untuk anggaran pengeluaran negara dan urusan kepenjaraan.
Baru saja dimulai suatu keteraturan, suasana sontak berubah manakala terjadi pemberontakan besar-besaran dari bangsa Indonesia terhadap pemerintah penjajahan Belanda, pada bulan November 1926. Belanda menyebutnya sebagai “pemberontakan komunis”. Blok bagian tahanan orang komunis di Penjara Cipinang sesudah Tahun 1926Banyak putra Indonesia ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara, sehingga urusan kepenjaraan dihadapkan pada kondisi “overcrowding” (kepenuhan penjara). Hal ini menjadi sandungan bagi Hijmans yang tengah mencoba mengembangkan mutu kepenjaraan.
Suasana penjara menjadi tidak kondusif, sering terjadi huru-hara, sebut saja di Cipinang pada bulan Juli 1926, di mana para tahanan politik menyanyikan lagu kepahlawanan diikuti gerakan mogok makan. Beberapa penjara pun berubah fungsi menjadi tempat penampungan tahanan politik, misalnya penjara Pamekasan dan Ambarawa yang semula diperuntukkan bagi anak-anak, berubah fungsi untuk menampung tahanan politik. Demikian pula penjara Cipinang, Glodok, Boyolali, Solo, serta penjara kecil seperti di Banten, Madiun, dan lain-lain. Bahkan, khusus bagi tahanan politik didirikan penjara besi di Nusakambangan. Satu catatan lagi, satu hal yang sering terjadi adalah penyerangan terhadap pegawai-pegawai penjara.
Kejadian lain yang mewarnai sejarah kepenjaraan di tanah air adalah penyerbuan terhadap rumah penjara Glodok pada 12 November 1926, sehingga mendorong didirikannya menara penjagaan untuk mengantisipasi terjadinya penyerangan. Inilah sejarah didirikannya menara penjagaan.
Rentetan kejadian ini menjadi kendala besar bagi sistem kepenjaraan yang sesungguhnya tengah dirintis. Benang merah dari segala kejadian ini adalah menyiratkan betapa sulitnya posisi atau peran urusan kepenjaraan, yang dihadapkan pada dua kepentingan, seolah kepenjaraan akan selalu dihadapkan pada momentum yang sifatnya antagonistic antara harus berperikemanusiaan atau sebaliknya.
Tentang kondisi ini, John Conrad seorang ahli penologi akhir abad ke-20 menyebutnya sebagai “irrational equilibrium”, suatu kondisi yang “uneasy compromise”.
Menjelang masuknya pendudukan Jepang ke Indonesia, penjagaan di penjara-penjara, yang semula dipegang oleh militer diganti oleh tenaga pegawai kepenjaraan sipil. Pada periode ini tercatat beberapa peristiwa penting, antara lain;
1. Tahun 1921, penjara Madiun menyediakan tempat untuk anak-anak di bawah usia 19 tahun
2. Tahun 1925, didirikan penjara untuk anak-anak di bawah umur 20 tahun di Tanah Tinggi, dekat Tangerang. Serta didirikannya penjara untuk terpidana seumur hidup di Muntok dan Sragen.
3. Tahun 1927, di Pamekasan dan Ambarawa didirikan penjara anak-anak.
Pada masa ini penjara-penjara memiliki kedudukan khusus:
* Penjara Sukamiskin untuk orang Eropa dan kalangan inetelktual
* Penjara Cipinang untuk terpidana kelas Satu
* Penjara Glodok untuk pidana psychopalen
* Penjara Sragen untuk pidana kelas satu (pidana seumur hidup)
* Penjara anak-anak di Tangerang
* Penjara anak-anak di Banyu Biru dan Ambarawa
* Penjara khas wanita di Bulu Tangerang
Penjara Bantjeuj menjadi saksi salah satu sejarah besar, penjara yang terletak di tengah kota Bandung ini pada akhir tahun 1929 pernah dihuni oleh Presiden Pertama RI, Soekarno, bersama tiga orang PNI (Partai Nasional Indonesia) yang lain. Sel penjara yang ditempati Soekarno adalah sel nomor 5 di blok F, berupa ruangan seluas 2,5 x 1,5 meter, yang di dalamnya terdapat satu tempat tidur lipat dan sebuah toilet non-permanen. Satu-satunya penghubung dengan dunia luar adalah sebuah lubang kecil di pintu besi.
Pada Mei 1930, Pengadilan Negeri memutuskan untuk memindahkan Soekarno, dkk ke penjara Sukamiskin, 15 kilometer dari Bandung. Kali ini Soekarno menempati sel nomor 233, berukuran 2 x 3 meter. Waktu masuk penghuninya dicukur gundul dan diberi pakaian penjara yang terbuat dari kain katun kasar. Hanya dua minggu sekali, sang istri, Inggit Ganarsih diperbolehkan menjenguk.

sumber : www.ditjenpas.go.id

Selasa, 10 November 2009

Batik




Batik ??? bagaimanakah sejarahnya ????

Sejarah pembatikan di Indonesia berkait erat dengan perkembangan kerajaan Majapahit dan penyebaran ajaran Islam di Tanah Jawa. Dalam beberapa catatan, pengembangan batik banyak dilakukan pada masa-masa kerajaan Mataram, kemudian pada masa kerjaan Solo dan Yogyakarta.
Jadi kesenian batik ini di Indonesia telah dikenal sejak zaman kerjaan Majapahit dan terus berkembang kepada kerajaan dan raja-raja berikutnya. Adapun mulai meluasnya kesenian batik ini menjadi milik rakyat Indonesia dan khususnya suku Jawa ialah setelah akhir abad ke-XVIII atau awal abad ke-XIX. Batik yang dihasilkan ialah semuanya batik tulis sampai awal abad ke-XX dan batik cap dikenal baru setelah perang dunia kesatu habis atau sekitar tahun 1920. Adapun kaitan dengan penyebaran ajaran Islam. Banyak daerah-daerah pusat perbatikan di Jawa adalah daerah-daerah santri dan kemudian Batik menjadi alat perjaungan ekonomi oleh tokoh-tokoh pedangan Muslim melawan perekonomian Belanda.
Kesenian batik adalah kesenian gambar di atas kain untuk pakaian yang menjadi salah satu kebudayaan keluaga raja-raja Indonesia zaman dulu. Awalnya batik dikerjakan hanya terbatas dalam kraton saja dan hasilnya untuk pakaian raja dan keluarga serta para pengikutnya. Oleh karena banyak dari pengikut raja yang tinggal diluar kraton, maka kesenian batik ini dibawa oleh mereka keluar kraton dan dikerjakan ditempatnya masing-masing.
Lama-lama kesenian batik ini ditiru oleh rakyat terdekat dan selanjutnya meluas menjadi pekerjaan kaum wanita dalam rumah tangganya untuk mengisi waktu senggang. Selanjutnya, batik yang tadinya hanya pakaian keluarga kraton, kemudian menjadi pakaian rakyat yang digemari, baik wanita maupun pria. Bahan kain putih yang dipergunakan waktu itu adalah hasil tenunan sendiri.
Sedang bahan-bahan pewarna yang dipakai tediri dari tumbuh-tumbuhan asli Indonesia yang dibuat sendiri antara lain dari: pohon mengkudu, tinggi, soga, nila, dan bahan sodanya dibuat dari soda abu, serta garamnya dibuat dari tanahlumpur.
Jaman Majapahit
Batik yang telah menjadi kebudayaan di kerajaan Majahit, pat ditelusuri di daerah Mojokerto dan Tulung Agung. Mojoketo adalah daerah yang erat hubungannya dengan kerajaan Majapahit semasa dahulu dan asal nama Majokerto ada hubungannya dengan Majapahit. Kaitannya dengan perkembangan batik asal Majapahit berkembang di Tulung Agung adalah riwayat perkembangan pembatikan didaerah ini, dapat digali dari peninggalan di zaman kerajaan Majapahit. Pada waktu itu daerah Tulungagung yang sebagian terdiri dari rawa-rawa dalam sejarah terkenal dengan nama daerah Bonorowo, yang pada saat bekembangnya Majapahit daerah itu dikuasai oleh seorang yang benama Adipati Kalang, dan tidak mau tunduk kepada kerajaan Majapahit.

Diceritakan bahwa dalam aksi polisionil yang dilancarkan oleh Majapahati, Adipati Kalang tewas dalam pertempuran yang konon dikabarkan disekitar desa yang sekarang bernama Kalangbret. Demikianlah maka petugas-petugas tentara dan keluara kerajaan Majapahit yang menetap dan tinggal diwilayah Bonorowo atau yang sekarang bernama Tulungagung antara lain juga membawa kesenian membuat batik asli.
Daerah pembatikan sekarang di Mojokerto terdapat di Kwali, Mojosari, Betero dan Sidomulyo. Diluar daerah Kabupaten Mojokerto ialah di Jombang. Pada akhir abad ke-XIX ada beberapa orang kerajinan batik yang dikenal di Mojokerto, bahan-bahan yang dipakai waktu itu kain putih yang ditenun sendiri dan obat-obat batik dari soga jambal, mengkudu, nila tom, tinggi dan sebagainya.
Obat-obat luar negeri baru dikenal sesudah perang dunia kesatu yang dijual oleh pedagang-pedagang Cina di Mojokerto. Batik cap dikenal bersamaan dengan masuknya obat-obat batik dari luar negeri. Cap dibuat di Bangil dan pengusaha-pengusaha batik Mojokerto dapat membelinya dipasar Porong Sidoarjo, Pasar Porong ini sebelum krisis ekonomi dunia dikenal sebagai pasar yang ramai, dimana hasil-hasil produksi batik Kedungcangkring dan Jetis Sidoarjo banyak dijual. Waktu krisis ekonomi, pengusaha batik Mojoketo ikut lumpuh, karena pengusaha-pengusaha kebanyakan kecil usahanya. Sesudah krisis kegiatan pembatikan timbul kembali sampai Jepang masuk ke Indonesia, dan waktu pendudukan Jepang kegiatan pembatikan lumpuh lagi. Kegiatan pembatikan muncul lagi sesudah revolusi dimana Mojokerto sudah menjadi daerah pendudukan.
Ciri khas dari batik Kalangbret dari Mojokerto adalah hampir sama dengan batik-batik keluaran Yogyakarta, yaitu dasarnya putih dan warna coraknya coklat muda dan biru tua. Yang dikenal sejak lebih dari seabad yang lalu tempat pembatikan didesa Majan dan Simo. Desa ini juga mempunyai riwayat sebagai peninggalan dari zaman peperangan Pangeran Diponegoro tahun 1825.
Meskipun pembatikan dikenal sejak jaman Majapahait namun perkembangan batik mulai menyebar sejak pesat didaerah Jawa Tengah Surakarta dan Yogyakata, pada jaman kerajaan di daerah ini. Hal itu tampak bahwa perkembangan batik di Mojokerto dan Tulung Agung berikutnya lebih dipenagruhi corak batik Solo dan Yogyakarta.
Didalam berkecamuknya clash antara tentara kolonial Belanda dengan pasukan-pasukan pangeran Diponegoro maka sebagian dari pasukan-pasukan Kyai Mojo mengundurkan diri kearah timur dan sampai sekarang bernama Majan. Sejak zaman penjajahan Belanda hingga zaman kemerdekaan ini desa Majan berstatus desa Merdikan (Daerah Istimewa), dan kepala desanya seorang kiyai yang statusnya Uirun-temurun.Pembuatan batik Majan ini merupakan naluri (peninggalan) dari seni membuat batik zaman perang Diponegoro itu.
Warna babaran batik Majan dan Simo adalah unik karena warna babarannya merah menyala (dari kulit mengkudu) dan warna lainnya dari tom. Sebagai batik setra sejak dahulu kala terkenal juga didaerah desa Sembung, yang para pengusaha batik kebanyakan berasal dari Sala yang datang di Tulungagung pada akhir abad ke-XIX. Hanya sekarang masih terdapat beberapa keluarga pembatikan dari Sala yang menetap didaerah Sembung. Selain dari tempat-tempat tesebut juga terdapat daerah pembatikan di Trenggalek dan juga ada beberapa di Kediri, tetapi sifat pembatikan sebagian kerajinan rumah tangga dan babarannya batik tulis.
Jaman Penyebaran Islam
Riwayat pembatikan di daerah Jawa Timur lainnya adalah di Ponorogo, yang kisahnya berkaitan dengan penyebaran ajaran Islam di daerah ini. Riwayat Batik. Disebutkan masalah seni batik didaerah Ponorogo erat hubungannya dengan perkembangan agama Islam dan kerajaan-kerajaan dahulu. Konon, di daerah Batoro Katong, ada seorang keturunan dari kerajaan Majapahit yang namanya Raden Katong adik dari Raden Patah. Batoro Katong inilah yang membawa agama Islam ke Ponorogo dan petilasan yang ada sekarang ialah sebuah mesjid didaerah Patihan Wetan.

Perkembangan selanjutanya, di Ponorogo, di daerah Tegalsari ada sebuah pesantren yang diasuh Kyai Hasan Basri atau yang dikenal dengan sebutan Kyai Agung Tegalsari. Pesantren Tegalsari ini selain mengajarkan agama Islam juga mengajarkan ilmu ketatanegaraan, ilmu perang dan kesusasteraan. Seorang murid yang terkenal dari Tegalsari dibidang sastra ialah Raden Ronggowarsito. Kyai Hasan Basri ini diambil menjadi menantu oleh raja Kraton Solo.
Waktu itu seni batik baru terbatas dalam lingkungan kraton. Oleh karena putri keraton Solo menjadi istri Kyai Hasan Basri maka dibawalah ke Tegalsari dan diikuti oleh pengiring-pengiringnya. disamping itu banyak pula keluarga kraton Solo belajar dipesantren ini. Peristiwa inilah yang membawa seni bafik keluar dari kraton menuju ke Ponorogo. Pemuda-pemudi yang dididik di Tegalsari ini kalau sudah keluar, dalam masyarakat akan menyumbangkan dharma batiknya dalam bidang-bidang kepamongan dan agama.
Daerah perbatikan lama yang bisa kita lihat sekarang ialah daerah Kauman yaitu Kepatihan Wetan sekarang dan dari sini meluas ke desa-desa Ronowijoyo, Mangunsuman, Kertosari, Setono, Cokromenggalan, Kadipaten, Nologaten, Bangunsari, Cekok, Banyudono dan Ngunut. Waktu itu obat-obat yang dipakai dalam pembatikan ialah buatan dalam negeri sendiri dari kayu-kayuan antara lain; pohon tom, mengkudu, kayu tinggi. Sedangkan bahan kainputihnyajugamemakai buatan sendiri dari tenunan gendong. Kain putih import bam dikenal di Indonesia kira-kira akhir abad ke-19.
Pembuatan batik cap di Ponorogo baru dikenal setelah perang dunia pertama yang dibawa oleh seorang Cina bernama Kwee Seng dari Banyumas. Daerah Ponorogo awal abad ke-20 terkenal batiknya dalam pewarnaan nila yang tidak luntur dan itulah sebabnya pengusaha-pengusaha batik dari Banyumas dan Solo banyak memberikan pekerjaan kepada pengusaha-pengusaha batik di Ponorogo. Akibat dikenalnya batik cap maka produksi Ponorogo setelah perang dunia petama sampai pecahnya perang dunia kedua terkenal dengan batik kasarnya yaitu batik cap mori biru. Pasaran batik cap kasar Ponorogo kemudian terkenal seluruh Indonesia.
Batik Solo dan Yogyakarta
Dari kerjaan-kerajaan di Solo dan Yogyakarta sekitamya abad 17,18 dan 19, batik kemudian berkembang luas, khususnya di wilayah Pulau Jawa. Awalnya batik hanya sekadar hobi dari para keluarga raja di dalam berhias lewat pakaian. Namun perkembangan selanjutnya, pleh masyarakat batik dikembangkan menjadi komoditi perdagamgan.

Batik Solo terkenal dengan corak dan pola tradisionalnya batik dalam proses cap maupun dalam batik tulisnya. Bahan-bahan yang dipergunakan untuk pewarnaan masih tetap banyak memakai bahan-bahan dalam negeri seperti soga Jawa yang sudah terkenal sejak dari dahulu. Polanya tetap antara lain terkenal dengan “Sidomukti” dan “Sidoluruh”.
Sedangkan Asal-usul pembatikan didaerah Yogyakarta dikenal semenjak kerajaan Mataram ke-I dengan raj any a Panembahan Senopati. Daerah pembatikan pertama ialah didesa Plered. Pembatikan pada masa itu terbatas dalam lingkungan keluarga kraton yang dikerjakan oleh wanita-wanita pembantu ratu. Dari sini pembatikan meluas pada trap pertama pada keluarga kraton lainnya yaitu istri dari abdi dalem dan tentara-tentara. Pada upacara resmi kerajaan keluarga kraton baik pria maupun wanita memakai pakaian dengan kombonasi batik dan lurik. Oleh karena kerajaan ini mendapat kunjungan dari rakyat dan rakyat tertarik pada pakaian-pakaian yang dipakai oleh keluarga kraton dan ditiru oleh rakyat dan akhirnya meluaslah pembatikan keluar dari tembok kraton.
Akibat dari peperangan waktu zaman dahulu baik antara keluarga raja-raja maupun antara penjajahan Belanda dahulu, maka banyak keluarga-keluarga raja yang mengungsi dan menetap didaerah-daerah baru antara lain ke Banyumas, Pekalongan, dan kedaerah Timur Ponorogo, Tulungagung dan sebagainy a. Meluasny a daerah pembatikan ini sampai kedaerah-daerah itu menurut perkembangan sejarah perjuangan bangsa Indonesia dimulai abad ke-18. Keluarga-keluarga kraton yang mengungsi inilah yang mengembangkan pembatikan seluruh pelosok pulau Jawa yang ada sekarang dan berkembang menurut alam dan daerah baru itu.
Perang Pangeran Diponegoro melawan Belanda, mendesak sang pangeran dan keluarganya serta para pengikutnya harus meninggalkan daerah kerajaan. Mereka kemudian tersebar ke arah Timur dan Barat. Kemudian di daerah-daerah baru itu para keluarga dan pengikut pangeran Diponegoro mengembangkan batik.
Ke Timur batik Solo dan Yogyakarta menyempurnakan corak batik yang telah ada di Mojokerto serta Tulung Agung. Selain itu juga menyebar ke Gresik, Surabaya dan Madura. Sedang ke arah Barat batik berkem-bang di Banyumas, Pekalongan, Tegal, Cirebon.
Perkembangan Batik di Kota-kota lain
Perkembangan batik di Banyumas berpusat di daerah Sokaraja dibawa oleh pengikut-pengikut Pangeran Diponegero setelah selesa-inya peperangan tahun 1830, mereka kebanyakan menet-ap didaerah Banyumas. Pengikutnya yang terkenal waktu itu ialah Najendra dan dialah mengembangkan batik celup di Sokaraja. Bahan mori yang dipakai hasil tenunan sendiri dan obat pewama dipakai pohon tom, pohon pace dan mengkudu yang memberi warna merah kesemuan kuning.

Lama kelamaan pembatikan menjalar pada rakyat Sokaraja dan pada akhir abad ke-XIX berhubungan langsung dengan pembatik didaerah Solo dan Ponorogo. Daerah pembatikan di Banyumas sudah dikenal sejak dahulu dengan motif dan wama khususnya dan sekarang dinamakan batik Banyumas. Setelah perang dunia kesatu pembatikan mulai pula dikerjakan oleh Cina disamping mereka dagang bahan batik. .
Sama halnya dengan pembatikan di Pekalongan. Para pengikut Pangeran Diponegoro yang menetap di daerah ini kemudian mengembangkan usaha batik di sekitara daerah pantai ini, yaitu selain di daerah Pekalongan sendiri, batik tumbuh pesat di Buawaran, Pekajangan dan Wonopringgo. Adanya pembatikan di daerah-daerah ini hampir bersamaan dengan pembatikan daerah-daerah lainnya yaitu sekitar abad ke-XIX. Perkembangan pembatikan didaerah-daerah luar selain dari Yogyakarta dan Solo erat hubungannya dengan perkembangan sejarah kerajaan Yogya dan Solo.
Meluasnya pembatikan keluar dari kraton setelah berakhirnya perang Diponegoro dan banyaknya keluarga kraton yang pindah kedaerah-daerah luar Yogya dan Solo karena tidak mau kejasama dengan pemerintah kolonial. Keluarga kraton itu membawa pengikut-pengikutnya kedaerah baru itu dan ditempat itu kerajinan batik terus dilanjutkan dan kemudian menjadi pekerjaan untuk pencaharian.
Corak batik di daerah baru ini disesuaikan pula dengan keadaan daerah sekitarnya. Pekalongan khususnya dilihat dari proses dan designya banyak dipengaruhi oleh batik dari Demak. Sampai awal abad ke-XX proses pembatikan yang dikenal ialah batik tulis dengan bahan morinya buatan dalam negeri dan juga sebagian import. Setelah perang dunia kesatu baru dikenal pembikinan batik cap dan pemakaian obat-obat luar negeri buatan Jerman dan Inggris.
Pada awal abad ke-20 pertama kali dikenal di Pekajangan ialah pertenunan yang menghasilkan stagen dan benangnya dipintal sendiri secara sederhana. Beberapa tahun belakangan baru dikenal pembatikan yang dikerjakan oleh orang-orang yang bekerja disektor pertenunan ini. Pertumbuhan dan perkembangan pembatikan lebih pesat dari pertenunan stagen dan pernah buruh-buruh pabrik gula di Wonopringgo dan Tirto lari ke perusahaan-perusahaan batik, karena upahnya lebih tinggi dari pabrik gula.
Sedang pembatikan dikenal di Tegal akhir abad ke-XIX dan bahwa yang dipakai waktu itu buatan sendiri yang diambil dari tumbuh-tumbuhan: pace/mengkudu, nila, soga kayu dan kainnya tenunan sendiri. Warna batik Tegal pertama kali ialah sogan dan babaran abu-abu setelah dikenal nila pabrik, dan kemudian meningkat menjadi warna merah-biru. Pasaran batik Tegal waktu itu sudah keluar daerah antara lain Jawa Barat dibawa sendiri oleh pengusaha-pengusaha secara jalan kaki dan mereka inilah menurut sejarah yang mengembangkan batik di Tasik dan Ciamis disamping pendatang-pendatang lainnya dari kota-kota batik Jawa Tengah.
Pada awal abad ke-XX sudah dikenal mori import dan obat-obat import baru dikenal sesudah perang dunia kesatu. Pengusaha-pengusaha batik di Tegal kebanyakan lemah dalam permodalan dan bahan baku didapat dari Pekalongan dan dengan kredit dan batiknya dijual pada Cina yang memberikan kredit bahan baku tersebut. Waktu krisis ekonomi pembatik-pembatik Tegal ikut lesu dan baru giat kembali sekitar tahun 1934 sampai permulaan perang dunia kedua. Waktu Jepang masuk kegiatan pembatikan mati lagi.
Demikian pila sejarah pembatikan di Purworejo bersamaan adanya dengan pembatikan di Kebumen yaitu berasal dari Yogyakarta sekitar abad ke-XI. Pekembangan kerajinan batik di Purworejo dibandingkan dengan di Kebumen lebih cepat di Kebumen. Produksinya sama pula dengan Yogya dan daerah Banyumas lainnya.
Sedangkan di daerah Bayat, Kecamatan Tembayat Kebumen-Klaten yang letaknya lebih kurang 21 Km sebelah Timur kota Klaten. Daerah Bayat ini adalah desa yang terletak dikaki gunung tetapi tanahnya gersang dan minus. Daerah ini termasuk lingkungan Karesidenan Surakarta dan Kabupaten Klaten dan riwayat pembatikan disini sudah pasti erat hubungannya dengan sejarah kerajaan kraton Surakarta masa dahulu. Desa Bayat ini sekarang ada pertilasan yang dapat dikunjungi oleh penduduknya dalam waktu-waktu tertentu yaitu “makam Sunan Bayat” di atas gunung Jabarkat. Jadi pembatikan didesa Bayat ini sudah ada sejak zaman kerjaan dahulu. Pengusaha-pengusaha batik di Bayat tadinya kebanyakan dari kerajinan dan buruh batik di Solo.
Sementara pembatikan di Kebumen dikenal sekitar awal abad ke-XIX yang dibawa oleh pendatang-pendatang dari Yogya dalam rangka dakwah Islam antara lain yang dikenal ialah: PenghuluNusjaf. Beliau inilah yang mengembangkan batik di Kebumen dan tempat pertama menetap ialah sebelah Timur Kali Lukolo sekarang dan juga ada peninggalan masjid atas usaha beliau. Proses batik pertama di Kebumen dinamakan teng-abang atau blambangan dan selanjutnya proses terakhir dikerjakan di Banyumas/Solo. Sekitar awal abad ke-XX untuk membuat polanya dipergunakan kunir yang capnya terbuat dari kayu. Motif-motif Kebumen ialah: pohon-pohon, burung-burungan. Bahan-bahan lainnya yang dipergunakan ialah pohon pace, kemudu dan nila tom.
Pemakaian obat-obat import di Kebumen dikenal sekitar tahun 1920 yang diperkenalkan oleh pegawai Bank Rakyat Indonesia yang akhimya meninggalkan bahan-bahan bikinan sendiri, karena menghemat waktu. Pemakaian cap dari tembaga dikenal sekitar tahun 1930 yang dibawa oleh Purnomo dari Yogyakarta. Daerah pembatikan di Kebumen ialah didesa: Watugarut, Tanurekso yang banyak dan ada beberapa desa lainnya.
Dilihat dengan peninggalan-peninggalan yang ada sekarang dan cerita-cerita yang turun-temurun dari terdahulu, maka diperkirakan didaerah Tasikmalaya batik dikenal sejak zaman “Tarumanagara” dimana peninggalan yang ada sekarang ialah banyaknya pohon tarum didapat disana yang berguna un-tuk pembuatan batik waktu itu. Desa peninggalan yang sekarang masih ada pembatikan dikerja-kan ialah: Wurug terkenal dengan batik kerajinannya, Sukapura, Mangunraja, Maronjaya dan Tasikmalaya kota.
Dahulu pusat dari pemerintahan dan keramaian yang terkenal ialah desa Sukapura, Indihiang yang terletak dipinggir kota Tasikmalaya sekarang. Kira-kira akhir abad ke-XVII dan awal abad ke-XVIII akibat dari peperangan antara kerajaan di Jawa Tengah, maka banyak dari penduduk daerah: Tegal, Pekalongan, Ba-nyumas dan Kudus yang merantau kedaerah Barat dan menetap di Ciamis dan Tasikmalaya. Sebagian besar dari mereka ini adalah pengusaha-pengusaha batik daerahnya dan menuju kearah Barat sambil berdagang batik. Dengan datangnya penduduk baru ini, dikenallah selanjutnya pembutan baik memakai soga yang asalnya dari Jawa Tengah. Produksi batik Tasikmalaya sekarang adalah campuran dari batik-batik asal Pekalongan, Tegal, Banyumas, Kudus yang beraneka pola dan warna.
Pembatikan dikenal di Ciamis sekitar abad ke-XIX setelah selesainya peperangan Diponegoro, dimana pengikut-pengikut Diponegoro banyak yang meninggalkan Yogyakarta, menuju ke selatan. Sebagian ada yang menetap didaerah Banyumas dan sebagian ada yang meneruskan perjalanan ke selatan dan menetap di Ciamis dan Tasikmalaya sekarang. Mereka ini merantau dengan keluargany a dan ditempat baru menetap menjadi penduduk dan melanjutkan tata cara hidup dan pekerjaannya. Sebagian dari mereka ada yang ahli dalam pembatikan sebagai pekerjaan kerajinan rumah tangga bagi kaum wanita. Lama kelamaan pekerjaan ini bisa berkembang pada penduduk sekitarnya akibat adanya pergaulan sehari-hari atau hubungan keluarga. Bahan-bahan yang dipakai untuk kainnya hasil tenunan sendiri dan bahan catnya dibuat dari pohon seperti: mengkudu, pohon tom, dan sebagainya.
Motif batik hasil Ciamis adalah campuran dari batik Jawa Tengah dan pengaruh daerah sendiri terutama motif dan warna Garutan. Sampai awal-awal abad ke-XX pembatikan di Ciamis berkembang sedikit demi sedikit, dari kebutuhan sendiri menjadi produksi pasaran. Sedang di daerah Cirebon batik ada kaintannya dengan kerajaan yang ada di aerah ini, yaitu Kanoman, Kasepuahn dan Keprabonan. Sumber utama batik Cirebon, kasusnya sama seperti yang di Yogyakarta dan Solo. Batik muncul lingkungan kraton, dan dibawa keluar oleh abdi dalem yang bertempat tinggal di luar kraton. Raja-raja jaman dulu senang dengan lukisan-lukisan dan sebelum dikenal benang katun, lukisan itu ditempatkan pada daun lontar. Hal itu terjadi sekitar abad ke-XIII. Ini ada kaitannya dengan corak-corak batik di atas tenunan. Ciri khas batik Cirebonan sebagaian besar bermotifkan gambar yang lambang hutan dan margasatwa. Sedangkan adanya motif laut karena dipengaruhioleh alam pemikiran Cina, dimana kesultanan Cirebon dahulu pernah menyunting putri Cina. Sementra batik Cirebonan yang bergambar garuda karena dipengaruhi oleh motif batik Yogya dan Solo.
+Pembatikan di Jakarta
Pembatikan di Jakarta dikenal dan berkembangnya bersamaan dengan daerah-daerah pembatikan lainnya yaitu kira-kira akhir abad ke-XIX. Pembatikan ini dibawa oleh pendatang-pendatang dari Jawa Tengah dan mereka bertempat tinggal kebanyakan didaerah-daerah pembatikan. Daerah pembatikan yang dikenal di Jakarta tersebar didekat Tanah Abang yaitu: Karet, Bendungan Ilir dan Udik, Kebayoran Lama, dan daerah Mampang Prapatan serta Tebet.

Jakarta sejak zaman sebelum perang dunia kesatu telah menjadi pusat perdagangan antar daerah Indonesia dengan pelabuhannya Pasar Ikan sekarang. Setelah perang dunia kesatu selesai, dimana proses pembatikan cap mulai dikenal, produksi batik meningkat dan pedagang-pedagang batik mencari daerah pemasaran baru. Daerah pasaran untuk tekstil dan batik di Jakarta yang terkenal ialah: Tanah Abang, Jatinegara dan Jakarta Kota, yang terbesar ialah Pasar Tanah Abang sejak dari dahulu sampai sekarang. Batik-batik produksi daerah Solo, Yogya, Banyumas, Ponorogo, Tulungagung, Pekalongan, Tasikmalaya, Ciamis dan Cirebon serta lain-lain daerah, bertemu di Pasar Tanah Abang dan dari sini baru dikirim kedaerah-daerah diluar Jawa. Pedagang-pedagang batik yang banyak ialah bangsa Cina dan Arab, bangsa Indonesia sedikit dan kecil.
Oleh karena pusat pemasaran batik sebagian besar di Jakarta khususnya Tanah Abang, dan juga bahan-bahan baku batik diperdagangkan ditempat yang sama, maka timbul pemikiran dari pedagang-pedagang batik itu untuk membuka perusahaan batik di Jakarta dan tempatnya ialah berdekatan dengan Tanah Abang. Pengusaha-pengusaha batik yang muncul sesudah perang dunia kesatu, terdiri dari bangsa cina, dan buruh-buruh batiknya didatangkan dari daerah-daerah pembatikan Pekalongan, Yogya, Solo dan lain-lain. Selain dari buruh batik luar Jakarta itu, maka diambil pula tenaga-tenaga setempat disekitar daerah pembatikan sebagai pembantunya. Berikutnya, melihat perkembangan pembatikan ini membawa lapangan kerja baru, maka penduduk asli daerah tersebut juga membuka perusahaan-perusahaan batik. Motif dan proses batik Jakarta sesuai dengan asal buruhnya didatangkan yaitu: Pekalongan, Yogya, Solo dan Banyumas.
Bahan-bahan baku batik yang dipergunakan ialah hasil tenunan sendiri dan obat-obatnya hasil ramuan sendiri dari bahan-bahan kayu mengkudu, pace, kunyit dan sebagainya. Batik Jakarta sebelum perang terkenal dengan batik kasarnya warnanya sama dengan batik Banyumas. Sebelum perang dunia kesatu bahan-bahan baku cambric sudah dikenal dan pemasaran hasil produksinya di Pasar Tanah Abang dan daerah sekitar Jakarta.
Pembatikan di Luar Jawa
Dari Jakarta, yang menjadi tujuan pedagang-pedagang di luar Jawa, maka batik kemudian berkembang di seluruh penjuru kota-kota besar di Indonesia yang ada di luar Jawa, daerah Sumatera Barat misalnya, khususnya daerah Padang, adalah daerah yang jauh dari pusat pembatikan dikota-kota Jawa, tetapi pembatikan bisa berkembang didaerah ini.

Sumatera Barat termasuk daerah konsumen batik sejak zaman sebelum perang dunia kesatu, terutama batik-batik produksi Pekalongan (saaingnya) dan Solo serta Yogya. Di Sumatera Barat yang berkembang terlebih dahulu adalah industri tenun tangan yang terkenal “tenun Silungkang” dan “tenun plekat”. Pembatikan mulai berkembang di Padang setelah pendudukan Jepang, dimana sejak putusnya hubungan antara Sumatera dengan Jawa waktu pendudukan Jepang, maka persediaan-persediaan batik yang ada pada pedagang-pedagang batik sudah habis dan konsumen perlu batik untuk pakaian sehari-hari mereka. Ditambah lagi setelah kemerdekaan Indonesia, dimana hubungan antara kedua pulau bertambah sukar, akibat blokade-blokade Belanda, maka pedagang-pedagang batik yang biasa hubungan dengan pulau Jawa mencari jalan untuk membuat batik sendiri.
Dengan hasil karya sendiri dan penelitian yang seksama, dari batik-batik yang dibuat di Jawa, maka ditirulah pembuatan pola-polanya dan ditrapkan pada kayu sebagai alat cap. Obat-obat batik yang dipakai juga hasil buatan sendiri yaitu dari tumbuh-tumbuhan seperti mengkudu, kunyit, gambir, damar dan sebagainya. Bahan kain putihnya diambilkan dari kain putih bekas dan hasil tenun tangan. Perusahaan batik pertama muncul yaitu daerah Sampan Kabupaten Padang Pariaman tahun 1946 antara lain: Bagindo Idris, Sidi Ali, Sidi Zakaria, Sutan Salim, Sutan Sjamsudin dan di Payakumbuh tahun 1948 Sdr. Waslim (asal Pekalongan) dan Sutan Razab. Setelah daerah Padang serta kota-kota lainnya menjadi daerah pendudukan tahun 1949, banyak pedagang-pedagang batik membuka perusahaan-perusahaan/bengkel batik dengan bahannya didapat dari Singapore melalui pelabuhan Padang dan Pakanbaru. Tetapi pedagang-pedagang batik ini setelah ada hubungan terbuka dengan pulau Jawa, kembali berdagang dan perusahaanny a mati.
Warna dari batik Padang kebanyakan hitam, kuning dan merah ungu serta polanya Banyumasan, Indramajunan, Solo dan Yogya. Sekarang batik produksi Padang lebih maju lagi tetapi tetap masih jauh dari produksi-produksi dipulau Jawa ini. Alat untuk cap sekarang telah dibuat dari tembaga dan produksinya kebanyakan sarung.